Kampus Kebanggaan?

Memang kalau mengenal sosok hebat di balik industri teknologi saat ini, generasi muda (sebut saja milenial dan X – kalau dikaitkan dengan era kekinian) akan lebih mengenal sosok seperti Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Bill Gates, Jack Dorsey, Larry Ellison, Michael Dell. Sebenarnya masih banyak lagi. Apakah kesamaan di antara tokoh yang sebutkan tadi? mungkin ada beberapa yang sudah tahu. Ya, yaitu semua hampir bisa disebut ‘gagal’ ketika menempuh jalur formal pendidikan tinggi alias tidak sukses dalam proses kuliah. Namun, karena kegigihan, keuletan, kesempatan, atau yang biasa sering disampaikan founder Yayasan Budi Luhur, Bapak Djaetun, yaitu bejo atau keberuntungan. Mereka pada akhirnya memiliki kesempatan emas dan mampu mendapatkan emas dari media sosial atau perusahaan teknologi yang dibangun seperti Facebook, Apple, Microsoft, Twitter, Oracle, Dell.
Dari stigma semacam itu akhirnya memunculkan pandangan, bahwa “tidak perlu kuliah” dong? Ehm, iya sih. Tapi, kan. Nah ada “tapi kan” di sini. Terus apa dong gunanya pendidikan tinggi? mengapa banyak orang tua masih berpandangan bahwa, kuliah tinggi merupakan jalur utama untuk mendapatkan masa depan yang terbaik. Bahkan, banyak orang tua yang berpikir keras, punya harapan disertai mimpi untuk bisa memberikan kesempatan anaknya untuk bisa kuliah setinggi langit dan bisa mendapatkan kampus terbaik?

Menurut pendapat saya, ini adalah pendapat orang tua yang HARUS tidak hanya dipandang sebelah mata. Saya selalu percaya, apa yang disampaikan orang tua, meskipun kadang secara kritis menolak dengan argumentasi atau opini mereka, tapi saya dengan bekal filosofi orang Jawa, selalu berusaha untuk: “ora wangsuli” atau “jangan menjawab” bahkan “jangan langsung membantah”. Tidak baik, jauh lebih baik ketika memilih jalur untuk merenung kemudian introspeksi. Kembali kepada masalah perlunya pendidikan yang tinggi dan mencari institusi terbaik (jika mampu). Saya juga punya pandangan bahwa kampus terbaik dengan reputasi terbaik, akan memberikan dampak yang terbaik juga untuk peserta didiknya. Meskipun kadar yang diserap peserta didik alias mahasiswa dalam konteks pendidikan tinggi, akan berbeda kadarnya. Sama halnya seperti Mark Zuckerberg, mungkin saja Mark gagal dalam studi lanjutnya, namun, kesempatan kuliah di kampus terbaik, memberikan jalan pikiran ‘terbaik’ untuk out of the box. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi ketika Mark kuliah di tempat yang dianggap ‘biasa saja’. Bukan merendahkan kampus yang ‘biasa saja’, tapi semua karena jelas daya tarik semesta atau karena Sang Pencipta memberikan jalan yang berbeda kepada setiap insan manusia.

Saya pun juga kuliah sejak jenjang strata satu hingga kedua, bahkan kalau ditarik ke belakang, sejak sekolah SMP ataupun SMA, bukan ‘sekolah di tempat terbaik’ (menurut sebagian persepsi orang). SMP dan SMA saya memang Sekolah Negeri di Yogyakarta, itupun proses masuknya juga menggunakan jalur seleksi. Tapi, sekolah itu pun bukan dianggap terbaik (sekali lagi, menurut sebagian orang). Kemudian, apakah saya tidak bangga sekolah di situ? Oh tidak! Bahkan dari sejak awal saya sekolah, saya masih ingat, semangat sekolah itu tetap tinggi. Justru semakin terpompa ketika merasa terpinggirkan dan diremehkan. Itupun terjadi ketika kuliah jenjang S1. Saya pernah gagal di S1 suatu kampus swasta favorit di Yogyakarta. Kegagalan itu disebabkan ada dua hal, karena pada akhirnya mengakui finansial tidak mampu memenuhi syarat pembayaran serta yang kedua saya mendapatkan jalan untuk lebih sibuk di dunia pekerjaan yang ternyata sesuai passion saya. Pekerjaan yang saya merelakan diri untuk tidak tidur dengan waktu lama setiap hari. Kegagalan kesempatan kuliah di S1 pertama itu akhirnya membuat saya harus mencoba masuk kembali untuk studi lanjut di tempat lain. Kebetulan kampus tujuan berikutnya adalah sebuah kampus yang sebagian orang banyak yang tidak mengenalnya, bahkan saya pada waktu itu merupakan angkatan pertama. Kesan diremehkan, perasaan selalu dibandingkan dengan kampus ‘selinier’ lainnya jelas selalu mewarnai kehidupan selama kuliah. Namun, itu sekali lagi sekadar perasaan saya. Mindset negatif itu pada akhirnya saya rubah menjadi mindset positif untuk dapat menghasilkan karya studi lanjut yang lebih baik. Memang, di kampus tersebut pun saya tidak memiliki prestasi terbaik, saya juga bukan lulusan terbaik. Namun, saya masih bisa merasakan manfaat yang besar ketika saya menjalani studi. Kemampuan berpikir saya, mulai dari logika, kreatif, analitis, bahkan mental tangguh, juga didapat selama kuliah. Itupun serupa tak sama dengan jenjang S2 saya yang kebetulan saya raih melalui jalur perguruan tinggi swasta. Perasaan minder, perasaan ‘terpinggirkan’ karena tidak sebanding dengan lulusan PTN jelas ada. Tetapi, saya justru menikmati masa -masa itu. Saya tetap bangga bisa studi lanjut S2 meskipun lewat jalur PTS, apakah bangga dengan PTS saya itu? Jelas tetap bangga. Mengapa bukan PTN? Jujur kalau kilas balik masa pendaftaran S2, semua berawal dari kesempatan. Di tengah kesibukan dan serunya berkarir (profesi), saya merasa (waktu itu) akan lebih nyaman ketika bisa melanjutkan studi dengan waktu yang lebih fleksibel.

Selama saya studi lanjut, baik mulai selepas SMA, bisa jadi materi yang saya dapatkan selama studi terkesan sulit saya terima, saya perlu kerja keras untuk belajar, namun, setidaknya, pengalaman akademik itulah yang berperan besar untuk upgrade karakter saya. Ketika studi lanjut S2, saya justru menerima pengalaman yang membuat saya introspeksi dan evaluasi diri sendiri secara mendalam. Sampai pada akhirnya saya menemukan jalan ‘terbaik’ yang saat ini sedang saya jalani dan perjuangkan. Sesuai dengan apa yang dipaparkan Peterson (2000), bahwa individu yang memiliki persepsi positif cenderung akan termotivasi dan berupaya mencapai tujuan. Saya merasakan energi positif justru dari perasaan yang dianggap sebelah mata. Sebagai ungkapan yang lebih ‘halus’ dari ungkapan ‘diremehkan’. Saya melihat kesempatan membuktikan diri justru semakin tinggi ketika dianggap tidak layak untuk menempati posisi yang memang menentukan.

Jika dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk menuntaskan studi lanjutnya, baik itu S1, S2, ataupun S3 sekalipun, itu kembali bisa ditinjau dari beberapa hal. Bressler (2010) ungkapkan bahwa keberhasilan akademik tidak hanya berkaitan dengan kecerdasan, melainkan juga bergantung dengan kemampuan serta motivasi. Variabel yang menyokongnya juga termasuk daya juang peserta didik, munculnya harapan, optimisme, dan penetapan tujuan. Sehingga, bisa jadi apa yang diputuskan oleh sosok-sosok hebat dalam teknologi yang disebutkan di awal tulisan ini, memiliki pertimbangan yang panjang atas variabel keberhasilan akademik. Saya merasakan hal yang serupa ketika gagal tuntaskan S1 pilihan pertama, kemudian membuat saya harus mengulang pendidikan S1. Masa itu keputusan saya untuk fokus kepada profesi yang sedang saya tekuni justru lebih tinggi, bahkan bisa disebut juga dilakukan ‘atas nama passion’, sehingga bisa lupa waktu.

Saya bangga dengan studi saya. Saya bangga dengan “di manapun” saya telah mendapatkan pengalaman akademik selama ini. Apakah kemudian menjadi puas? justru tidak. Ketika saat ini sedang berjuang untuk tuntaskan studi lanjut lagi, saya berpikir setelah ini akan kembali mencari pengalaman akademik master di jalur keilmuan yang lain. Saya tertarik untuk mendalami akademik dalam bidang yang tidak linier dalam jalur akademik yang sedang saya lalui saat ini.

Referensi

Demetriou, C. & Schmitz-Sciborski, A. (2011). Integration, motivation, strengths and optimism: Retention theories past, present and future. In R. Hayes (Ed.), Proceedings of the 7th National Symposium on Student Retention, 2011, Charleston. (pp. 300-312). Norman, OK: The University of Oklahoma.

Bressler, Linda A., Bressler, Mark E. & Bressler, Martin S. (2010). The Role and Relationship of Hope, Optimism and Goal Setting in Achieving Academic Success: A Study of Students Enrolled in Online Accounting Courses. Academy of Educational Leadership Journal, Volume 14, Number 4, 201